Rabu, 04 September 2019

Momen Menjadi Kerbau



Mari memasuki mesin waktu.

Kita berempat memasuki angkot yang sama. Anisa, Fariza, Salwa, dan Aku. Tetapi kami harus berpisah dengan Salwa karena ia harus turun dari angkot terlebih dahulu. Sisa kita bertiga berhenti di tempat yang sama dan berjalan ke arah yang sama pula. Entah apa saja obrolan yang telah kita lalui selama hampir dua tahun pulang sekolah bersama, yang jelas aku menikmati keberadaan mereka di hidupku. Pertama, Fariza sampai rumahnya terlebih dahulu. Kedua, Anisa. Dan terakhir aku.

Sebenarnya akan menjadi hal yang membosankan jika setiap waktu selesai sekolah langsung pulang. Begitulah kata mereka yang memiliki banyak teman. Tapi bagiku, aku merasa lebih aman jika langsung pulang ke rumah dan masuk kamar. Satu tahun pertama menjadi seorang anak SMP, membuatku terbiasa dengan segala jenis manusia yang sudah kutemui. Mulai dari orang yang menganggapku tak ada sampai orang yang ingin membuatku mati. Aku serius. Tapi kurasa hidup lebih dari sekadar menghindari masalah, jauh dari itu, aku harus meluangkan waktu untuk menguatkan diri dan menjadi lebih baik.

Usahaku menjadi lebih baik sangat amat sulit. Seperti harus menginjak kepala sendiri. Berlebihan? Ya, memang, tapi begitulah rasanya. Saat itu pelajaran Seni Kebudayaan. Bagian yang paling tidak kusukai ternyata sedang terjadi, yaitu harus bernyanyi di hadapan teman-teman kelas. Aku merasa tidak aman. Rasa percaya diriku menggebu-gebu memintaku untuk kabur dan mengurung diri di kamar. Tapi hal tersebut akan membuat keadaan semakin memburuk. Oh, mungkin ada hal yang lebih buruk dari itu. Akulah orang pertama yang harus bernyanyi di depan kelas. Tanganku mendingin, kakiku bergetar, pernapasanku sulit bekerja. Saat itu aku memilih lagu daerah “Anak Kambing Saya”. Seperti dugaanku hal tersebut tidak berjalan dengan semestinya. Hasilnya sangat buruk. Aku hanya bisa merunduk dan menyanyikan lirik dengan suara pelan yang sumbang.

Baiklah, lagi-lagi aku harus menguatkan diri. Menahan air mata jatuh seharusnya tidak sesulit ini. Aku mahir dalam hal tersebut. Namun sungguh, aku tak kuasa. Saat kembali ke meja, aku langsung merunduk dan menangis. Dasar bodoh! Memangnya aku harus berharap penampilan yang seperti apa dengan setelan fisik yang culun dan tingginya rasa bersalah. Sang guru semakin memperburuk suasana dengan menyindirku di akhir jam pelajaran. Tentu, aku memang pantas mendapatkannya. Aku pantas tersakiti seperti ini. Aku harus menerima balasan sepadan atas apa yang kulakukan.

Sampai sini paham bagaimana menyedihkannya menjadi diriku?

Namun jangan kira aku tidak memiliki minat apapun. Setidaknya, perkumpulan English Club tidak memiliki kriteria anggota untuk ikut bergabung di dalamnya. Seharusnya tidak. Namun orang-orang yang berada di dalamnya merupakan golongan orang yang bertolak belakang denganku. Tentu saja kau dapat membayangkannya. Orang-orang yang ramai, wajah cantik, populer, dan modis. Tapi hal tersebut tidak begitu membuatku langsung menarik diri. Aku suka Bahasa Inggris. Kumohon, beri aku kesempatan untuk berada di jalur yang aku inginkan.

Seingatku Fariza dan Salwa juga ikut perkumpulan tersebut. Yap! Setidaknya aku tidak sendiri. Masih ada orang yang bisa kuajak bicara dan tertawa saat belajar. Saat itu Ms. Rika membagi anggota menjadi beberapa kelompok dan menyuruh kami mengubah lirik lagu Bahasa Indonesia menjadi lirik lagu Bahasa Inggris. Aku merasa di situlah tempat aku berekspresi. Tempatku bergerak. Dan tempatku lepas. Aku bisa melakukannya. Namun lagi-lagi semesta belum mengizinkan kebahagiaan berada di pihakku barang sejenak.

Kelompok modis—sebut saja mereka begitu—ternyata telah merencanakan semuanya. Aku tidak tahu begitu juga teman kelompokku. Entah siapa yang berulang tahun, tiba-tiba mereka membawakan kue ulangtahun yang sangat enak ke tengah-tengah perkumpulan. Karena banyak bertanya bukan tindakan yang tepat saat itu, aku dan teman-teman mengikuti alur kejutan dari mereka. Menyanyikan lagu Happy Birthday dan bertepuk tangan bersama. Saat salah seorang dari mereka meniupkan lilin, saat itu pula seorang lainnya mengambil krim di kue tersebut dengan jarinya dan semua orang pun langsung berteriak dan berlari. Mungkin hanya kelompok modis yang dapat menangkap sinyal tersebut. Aku dan teman-teman kelompokku, hanya berdiam diri dan bingung. Pada kenapa sih.

Oh, inilah saatnya aku menjadi patung.

Memandangi mereka yang kejar-kejaran dengan saling mengotori wajah masing-masing dengan whipped cream. Salwa dan Fariza juga ikut diam dan sesekali tertawa melihat tingkah mereka. Aku merasa bersalah. Seharusnya mereka juga terlibat dalam keseruan ini, tapi mungkin mereka tetap ingin agar aku tidak “sendiri”. Salwa dan Fariza mendapatkan krim di pipinya. Sementara aku tidak. Ya, seharusnya aku senang karena dalam permainan ini yang menang adalah ia yang tidak mendapatkan krim di wajahnya. Seharusnya aku menjadi pemenang di permainan ini. Tapi hatiku tidak senang. Hatiku kecewa. Hatiku menangis. Lagi-lagi karena diriku sendiri. Aku tahu tak ada satu pun orang yang ingin menyentuh wajahku. Jerawat menumpuk, minyak berlebih, siapa yang ingin memegangnya? Ms. Rika hanya tertawa saat mendapatkan krim dari mereka. Setelah bermenit-menit aku menyaksikan keseruan ini dengan kehancuran, akhirnya pertemuan pun berakhir.

Bukan hal yang baru bagiku menangis di kamar setelah pulang sekolah. Bagaimana bisa aku terus berada di perkumpulan tersebut. Sebuah retorika yang bodoh agar aku dapat bertahan dengan semua kepayahan ini. Tak ada alasan untukku bisa terus berada di kumpulan yang sama dengan orang-orang modis seperti mereka. Aku hanya suka Bahasa Inggris, dan akan menjadi tidak boleh saat orang-orang modis juga menyukainya. Aku harus menghindar dan mengubur minatku. Siapa yang salah? Tentulah aku.

Aku hampir menangis mengingat masa-masa itu. Atau mungkin sudah.

Rasanya aku tidak bisa berbuat banyak hanya dengan fisikku yang tidak sesuai dengan kriteria mereka. Memandangku dengan mata sinis dan bahkan sampai ada yang ingin muntah. Rafah yang sekarang mengatakan bahwa seharusnya tidak perlu dihiraukan. Namun saat itu merekalah penentu kemana aku harus berjalan. Aku tidak bisa menyimpan rasa suka kepada lawan jenis, aku harus membuangnya. Aku tidak bisa menyuarakan apa yang kupikirkan, aku harus menelannya hingga menjadi kotoran yang sia-sia. Aku bahkan tidak boleh bangga kepada diri sendiri, aku harus menggantinya dengan kutukan.

3 tahun yang kulalui dengan merangkak susah payah agar sampai ke pintu gerbang. Aku ingin keluar. Berpisah dengan orang-orang yang memandangku seperti kerbau. Menghilang dari mereka agar tidak ada yang terganggu satu sama lain. Ketika mereka tidak dapat mengabaikan fisikku, hal yang sama terjadi padaku mengenai pendapat-pendapat maut mereka. Hampir setiap hari aku harus kembali membangun dinding pertahanan yang rusak dengan perbuatan mereka. Namun tiap tahun, aku mahir dalam mengkokohkan bangunan ini. Perlahan hanya sedikit yang bisa kuperbaiki, nyaris tidak ada sama sekali.

Perpisahan tiba. Acara simbolis dari sekolah yang sudah bisa melepaskan murid tingat akhirnya. Semua orang merias diri termasuk aku. Saat itu aku memakai kebaya berwarna biru langit. Semoga menjadi hari secerah langit di momen terakhir aku menjadi seorang anak SMP. Langkahku pelan memasuki gerbang sekolah ditemani dengan bapakku. Hal yang kupikirkan saat itu adalah teman-temanku. Aku harus cukup berbahagia bertemu dengan mereka karena salah satu dari temanku merupakan siswi dengan NEM tertinggi. Yaitu Fariza. Aku senang dianggap teman olehnya. Berjalan ke arah teman-temanku yang sedang berkumpul sambil berusaha tersenyum.

“Cantik sekali...”

Aku menoleh. Ternyata Wiwi. Aku tersenyum dan membalas pujiannya. Kupikir ialah orang pertama di sekolah ini yang berani melontarkan kalimat tersebut kepadaku. Dengan pertemuan yang sangat singkat itu, akan lebih banyak harapan agar hari ini akan menjadi secerah langit. Aku mencoba tidak menghindar dari kalimat tersebut dan menyimpannya dalam-dalam. Aku ini memang pantas menjadi cantik. Setidaknya, dengan senyuman akan mengubah hariku menjadi lebih menyenangkan. Melihat teman-temanku dengan penampilan yang berbeda, membuatku tersenyum lebih lebar. Mereka semua cantik. Termasuk aku. Hari yang menyenangkan menjadi akhir momenku di sekolah ini. Terimakasih semuanya!


Kumohon jangan takut dengan sosok paling kanan, karena saat itu ia sedang mengekspresikan kebahagiannya. Maaf ya, hehe.
Melihat ini aku senang. Bahwa ternyata Tuhan memberikan kebahagiaan yang dengan bodohnya tidak kuingat baik-baik. Aku berada di paling kiri. 

Oh ya, selain English Club, aku juga mengikuti kegiatan ekstrakulikuler Rohis, lho. Lihat orang-orang baik di sini yang masih memandangku sebagai manusia. Aku lagi-lagi berada di paling kiri.


Terimakasih sudah membaca. Semoga harimu menyenangkan!

Selasa, 03 September 2019

Perkenalan

Assalamualaikum.
Hai, semua...

Perkenalkan, aku Rafah. Mungkin kalian sudah melihatnya di bagian nama penulis. Ini blog pertamaku. Tapi ini bukan pertama kalinya aku menulis. Bisa dibilang aku tertinggal jauh oleh teman-teman yang juga suka menulis karena aku sangat baru ingin memulai menulis apapun di sini. Semoga kalian bisa menikmati.

Aku terlahir sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. Benar, aku anak pertengahan. Bukan hal yang asing untuk diberitahu bahwa anak tengah-tengah selalu "berbeda" dibanding kedua saudaranya. Aku memiliki satu kakak perempuan, dan satu adik laki-laki. Kami akur seperti saudara lainnya. Akur, kata yang memiliki banyak definisi dalam konteks persaudaraan. Kami hidup bersaudara seperti persaudaraan pada umumnya. Kau tahu, seperti bertengkar kemudian kembali damai, rebutan remote tv, menyuruh adik membelikan sesuatu agar dia dapat meminjam handphone kakaknya. Dan lain sebagainya.

Kukira saat keluar rumah, akan semenyenangkan saat kita bertiga bekerjasama agar dapat pergi liburan. Ya, perkiraanku salah. Ternyata lebih menyenangkan berbagi canda bersama teman-teman sekolah. Saat Sekolah Dasar, seolah akulah yang menjadi pusat perhatian semua orang. Karena aku terlahir seperti orang Cina, berkulit putih, dengan postur tubuh yang ideal untuk seorang bocah berusia 10 tahun, dan tentu saja wajah yang mulus. Saat itu, akulah pemeran utamanya. Menjadi juara kelas, mengikuti lomba, menjadi pemimpin kelas, dan menjadi primadona. Namun kau tahu, pemeran utama adalah orang yang paling tersiksa di setiap kilasan film. Aku hampir gila karena semua yang aku banggakan. Aku merasa bersalah. Tapi aku tak tahu kepada siapa aku harus meminta maaf. Entah berawal dari kapan, tapi ternyata akulah yang menjadi bahan pembicaraan kakak kelas. Saat itu sedang berkembang kata-kata "alay", "lebay", dan "anak mami". Kuakui, akulah satu-satunya di atara teman-teman kelas yang menggunakan jasa ojek untuk antar-jemput sekolah. Kupikir karena itu, jadi kuputuskan untuk berhenti dan ikut jalan kaki bersama teman-teman. 

Apakah berakhir?
Tentu tidak.

Bahkan lebih buruk. Sekumpulan kakak kelas itu semakin menyebutkan kata-kata tersebut dengan lantang di belakang barisan aku dan teman-teman. Hal yang bisa aku lakukan adalah menangis di kamar. Aku berkali-kali meminta untuk pindah sekolah. Aku tidak bisa menceritakan kejadian ini kepada kakak dan adikku, karena kupikir itu hal yang memalukan. Aku hanya bercerita kepada mama, dan respon beliau adalah menyuruhku untuk mengabaikan. Akan kulakukan jika aku bisa. Tapi hari demi hari semakin buruk. Karena kelasku, berdampingan dengan kelas mereka. Sampai pada puncaknya, aku menulis surat permohonan maaf atas apapun yang sudah kulakukan. Bahkan aku tidak tahu jika menjadi orang yang diantar-jemput dengan ojek adalah sebuah kesalahan. Aku meminta tolong temanku menyampaikan surat itu kepada mereka. Kemudian di hari yang sama, mereka melemparkan gumpalan kertas ke jendela kelasku. Hal pertama yang kulakukan adalah menangis. Mungkin itulah tangisan pertamaku di depan banyak orang. Mereka memintaku untuk melakukan hal bodoh di depan kelas mereka. Tentu saja aku tidak ingin membuat keadaan semakin memburuk, kubiarkan mereka menyebutku dengan julukan itu sampai mereka lulus.

Kurasa drama anak SD itulah yang membuatku menjadi orang seperti sekarang ini. Memasuki tahun pertama sebagai seorang anak SMP, bagiku tidaklah mudah. Tahun terakhir menjadi seorang murid sekolah dasarku pun, tidak sebahagia tahun-tahun sebelumnya. Seakan kulepaskan peran utama yang sudah menjadi milikku di tahun-tahun sebelumnya. Aku hampir tidak memiliki teman saat pertama kali menjadi anak baru lagi. Karena, aku tidak percaya siapa pun. Sampai seseorang menyapaku dengan gayanya yang membuatku spontan tertawa. Namanya Wiwi, gadis polos dan cantik. Kami memutuskan untuk duduk di meja yang sama selama dua semester. Hidupku tidak terlalu berat semenjak mengenal Wiwi. Tapi aku tetaplah Rafah, saat pisah kelas, aku tidak berusaha untuk tetap terkoneksi dengannya.

 Memasuki tahap pubertas untukku sangat amat sulit. Berat badan naik, jerawat bermunculan, dan kulitku sedikit menggelap. Tentu aku baik-baik saja dengan fisikku, sampai ada seseorang yang memanggilku "babon". Kemudian ia tertawa, tapi tidak denganku. Aku selalu menghindari cermin. Bahkan saat hendak berangkat sekolah pun aku tidak membutuhkannya untuk sekadar memakai jilbab. Untuk apa? Toh, merias diri untukku sama sekali tidak merubah apapun. Aku hanya mengandalkan parfum agar aku bisa berbicara kepada orang-orang yang kubutuhkan. Tapi hal tersebut tidak bekerja pada orang-orang yang memandangku seperti kerbau. Aku hanya bisa menundukkan kepala saat orang-orang memandangku dari kepala sampai kaki. Tidak, jangan salahkan mereka. Aku memang merasa bahwa saat itu akulah masalahnya. Muka berminyak dan jerawat menumpuk. Aku berubah menjadi kura-kura payah dan lemah. Membawa ransel yang berat, berjalan dengan kepala merunduk, dan rasa bersalah yang tiada henti. 

Masa SMP yang kelamku sudah berakhir. Saatnya aku kembali menyalakan sinar yang sudah lama redup. Hal yang bisa kulakukan adalah berdamai dengan masa-masa itu dan beralih menjadi Rafah yang merdeka. Tentu saja, aku berhasil, hampir. Sedikit lagi. Seperti lagu Ariana Grande, Almost Is Never Enough. Aku rasa, tidak ada satu pun yang bisa kupercaya dari teman-teman SMA-ku. Aku tidak menyalahkan mereka, aku pun mencoba untuk tidak lagi menyalahi diri sendiri, hanya saja semesta akan tetap membiarkanku menjalani hidup dengan rasa kosong. Sejujurnya, ketakutan akan peristiwa drama anak SD itu terulang kembali. Aku hanya berpikir, mereka yang biasa kusebut teman, bisa saja menyakitiku seperti orang-orang itu. Bahkan dengan cara yang lebih bisa membuatku mati. Membangun dinding setinggi dan sekuat mungkin agar tidak ada seorang pun yang dapat merusaknya dan aku dapat hidup dengan tanpa rasa gelisah. 

Kejadian-kejadian tersebut termakan oleh waktu. Termasuk segala usahaku untuk memperbaiki penampilan agar tidak dipandang sebagai kerbau lagi. Berdiet, meskipun tidak 100% berhasil, mengobati semua masalah wajah, belajar tersenyum saat bercermin. Dan belajar memuji diri sendiri. Memasuki tahun pertama sebagai seorang mahasiswi, merupakan hal yang kurasakan seperti saat masuk SMA pertama kali. Aku harus menyalakan sinar yang redup itu. Tidak perlu menjadi primadona, aku hanya ingin dianggap sebagai manusia normal dan dapat bersuara. Kupikir aku berhasil. Saat ini aku berusia 19 tahun, memasuki semester 3. Dan dengan bangganya, aku bersyukur akan hal tersebut.

Kepada orang-orang yang bisa kusebut sebagai teman, terimakasih. Jangan lupakan Wiwi, karena ialah awal mula ku melangkah untuk dapat sekadar berbagi cerita ringan saat jam istirahat kepada beberapa orang yang menerimaku.

Perkenalan yang panjang, kurasa. Terimakasih sudah meluangkan waktu untuk membaca kisahku. Kuharap, aku dapat berbagi segala kisah yang kualami di sini. Semoga harimu menyenangkan :)

Wassalamualaikum!