Mari memasuki mesin waktu.
Kita berempat memasuki angkot yang sama. Anisa, Fariza, Salwa, dan
Aku. Tetapi kami harus berpisah dengan Salwa karena ia harus turun dari angkot
terlebih dahulu. Sisa kita bertiga berhenti di tempat yang sama dan berjalan ke
arah yang sama pula. Entah apa saja obrolan yang telah kita lalui selama hampir
dua tahun pulang sekolah bersama, yang jelas aku menikmati keberadaan mereka di
hidupku. Pertama, Fariza sampai rumahnya terlebih dahulu. Kedua, Anisa. Dan
terakhir aku.
Sebenarnya akan menjadi hal yang membosankan jika setiap waktu
selesai sekolah langsung pulang. Begitulah kata mereka yang memiliki banyak
teman. Tapi bagiku, aku merasa lebih aman jika langsung pulang ke rumah dan
masuk kamar. Satu tahun pertama menjadi seorang anak SMP, membuatku terbiasa
dengan segala jenis manusia yang sudah kutemui. Mulai dari orang yang
menganggapku tak ada sampai orang yang ingin membuatku mati. Aku serius. Tapi
kurasa hidup lebih dari sekadar menghindari masalah, jauh dari itu, aku harus
meluangkan waktu untuk menguatkan diri dan menjadi lebih baik.
Usahaku menjadi lebih baik sangat amat sulit. Seperti harus
menginjak kepala sendiri. Berlebihan? Ya, memang, tapi begitulah rasanya. Saat
itu pelajaran Seni Kebudayaan. Bagian yang paling tidak kusukai ternyata sedang
terjadi, yaitu harus bernyanyi di hadapan teman-teman kelas. Aku merasa tidak
aman. Rasa percaya diriku menggebu-gebu memintaku untuk kabur dan mengurung
diri di kamar. Tapi hal tersebut akan membuat keadaan semakin memburuk. Oh,
mungkin ada hal yang lebih buruk dari itu. Akulah orang pertama yang harus
bernyanyi di depan kelas. Tanganku mendingin, kakiku bergetar, pernapasanku
sulit bekerja. Saat itu aku memilih lagu daerah “Anak Kambing Saya”. Seperti
dugaanku hal tersebut tidak berjalan dengan semestinya. Hasilnya sangat buruk.
Aku hanya bisa merunduk dan menyanyikan lirik dengan suara pelan yang sumbang.
Baiklah, lagi-lagi aku harus menguatkan diri. Menahan air mata
jatuh seharusnya tidak sesulit ini. Aku mahir dalam hal tersebut. Namun
sungguh, aku tak kuasa. Saat kembali ke meja, aku langsung merunduk dan
menangis. Dasar bodoh! Memangnya aku harus berharap penampilan yang seperti apa
dengan setelan fisik yang culun dan tingginya rasa bersalah. Sang guru semakin
memperburuk suasana dengan menyindirku di akhir jam pelajaran. Tentu, aku
memang pantas mendapatkannya. Aku pantas tersakiti seperti ini. Aku harus
menerima balasan sepadan atas apa yang kulakukan.
Sampai sini paham bagaimana menyedihkannya menjadi diriku?
Namun jangan kira aku tidak memiliki minat apapun. Setidaknya,
perkumpulan English Club tidak memiliki kriteria anggota untuk ikut bergabung
di dalamnya. Seharusnya tidak. Namun orang-orang yang berada di dalamnya
merupakan golongan orang yang bertolak belakang denganku. Tentu saja kau dapat
membayangkannya. Orang-orang yang ramai, wajah cantik, populer, dan modis. Tapi
hal tersebut tidak begitu membuatku langsung menarik diri. Aku suka Bahasa
Inggris. Kumohon, beri aku kesempatan untuk berada di jalur yang aku inginkan.
Seingatku Fariza dan Salwa juga ikut perkumpulan tersebut. Yap!
Setidaknya aku tidak sendiri. Masih ada orang yang bisa kuajak bicara dan
tertawa saat belajar. Saat itu Ms. Rika membagi anggota menjadi beberapa
kelompok dan menyuruh kami mengubah lirik lagu Bahasa Indonesia menjadi lirik
lagu Bahasa Inggris. Aku merasa di situlah tempat aku berekspresi. Tempatku
bergerak. Dan tempatku lepas. Aku bisa melakukannya. Namun lagi-lagi semesta
belum mengizinkan kebahagiaan berada di pihakku barang sejenak.
Kelompok modis—sebut saja mereka begitu—ternyata telah merencanakan
semuanya. Aku tidak tahu begitu juga teman kelompokku. Entah siapa yang
berulang tahun, tiba-tiba mereka membawakan kue ulangtahun yang sangat enak ke
tengah-tengah perkumpulan. Karena banyak bertanya bukan tindakan yang tepat
saat itu, aku dan teman-teman mengikuti alur kejutan dari mereka. Menyanyikan
lagu Happy Birthday dan bertepuk tangan bersama. Saat salah seorang dari mereka
meniupkan lilin, saat itu pula seorang lainnya mengambil krim di kue tersebut
dengan jarinya dan semua orang pun langsung berteriak dan berlari. Mungkin
hanya kelompok modis yang dapat menangkap sinyal tersebut. Aku dan teman-teman
kelompokku, hanya berdiam diri dan bingung. Pada kenapa sih.
Oh, inilah saatnya aku menjadi patung.
Memandangi mereka yang kejar-kejaran dengan saling mengotori wajah
masing-masing dengan whipped cream. Salwa dan Fariza juga ikut diam dan
sesekali tertawa melihat tingkah mereka. Aku merasa bersalah. Seharusnya mereka
juga terlibat dalam keseruan ini, tapi mungkin mereka tetap ingin agar aku
tidak “sendiri”. Salwa dan Fariza mendapatkan krim di pipinya. Sementara aku
tidak. Ya, seharusnya aku senang karena dalam permainan ini yang menang adalah
ia yang tidak mendapatkan krim di wajahnya. Seharusnya aku menjadi pemenang di
permainan ini. Tapi hatiku tidak senang. Hatiku kecewa. Hatiku menangis.
Lagi-lagi karena diriku sendiri. Aku tahu tak ada satu pun orang yang ingin
menyentuh wajahku. Jerawat menumpuk, minyak berlebih, siapa yang ingin
memegangnya? Ms. Rika hanya tertawa saat mendapatkan krim dari mereka. Setelah
bermenit-menit aku menyaksikan keseruan ini dengan kehancuran, akhirnya
pertemuan pun berakhir.
Bukan hal yang baru bagiku menangis di kamar setelah pulang
sekolah. Bagaimana bisa aku terus berada di perkumpulan tersebut. Sebuah
retorika yang bodoh agar aku dapat bertahan dengan semua kepayahan ini. Tak ada
alasan untukku bisa terus berada di kumpulan yang sama dengan orang-orang modis
seperti mereka. Aku hanya suka Bahasa Inggris, dan akan menjadi tidak boleh saat
orang-orang modis juga menyukainya. Aku harus menghindar dan mengubur minatku.
Siapa yang salah? Tentulah aku.
Aku hampir menangis mengingat masa-masa itu. Atau mungkin sudah.
Rasanya aku tidak bisa berbuat banyak hanya dengan fisikku yang
tidak sesuai dengan kriteria mereka. Memandangku dengan mata sinis dan bahkan
sampai ada yang ingin muntah. Rafah yang sekarang mengatakan bahwa seharusnya
tidak perlu dihiraukan. Namun saat itu merekalah penentu kemana aku harus
berjalan. Aku tidak bisa menyimpan rasa suka kepada lawan jenis, aku harus
membuangnya. Aku tidak bisa menyuarakan apa yang kupikirkan, aku harus
menelannya hingga menjadi kotoran yang sia-sia. Aku bahkan tidak boleh bangga
kepada diri sendiri, aku harus menggantinya dengan kutukan.
3 tahun yang kulalui dengan merangkak susah payah agar sampai ke
pintu gerbang. Aku ingin keluar. Berpisah dengan orang-orang yang memandangku
seperti kerbau. Menghilang dari mereka agar tidak ada yang terganggu satu sama
lain. Ketika mereka tidak dapat mengabaikan fisikku, hal yang sama terjadi
padaku mengenai pendapat-pendapat maut mereka. Hampir setiap hari aku harus
kembali membangun dinding pertahanan yang rusak dengan perbuatan mereka. Namun
tiap tahun, aku mahir dalam mengkokohkan bangunan ini. Perlahan hanya sedikit
yang bisa kuperbaiki, nyaris tidak ada sama sekali.
Perpisahan tiba. Acara simbolis dari sekolah yang sudah bisa
melepaskan murid tingat akhirnya. Semua orang merias diri termasuk aku. Saat
itu aku memakai kebaya berwarna biru langit. Semoga menjadi hari secerah
langit di momen terakhir aku menjadi seorang anak SMP. Langkahku pelan memasuki
gerbang sekolah ditemani dengan bapakku. Hal yang kupikirkan saat itu adalah
teman-temanku. Aku harus cukup berbahagia bertemu dengan mereka karena salah satu
dari temanku merupakan siswi dengan NEM tertinggi. Yaitu Fariza. Aku senang
dianggap teman olehnya. Berjalan ke arah teman-temanku yang sedang berkumpul
sambil berusaha tersenyum.
“Cantik sekali...”
Aku menoleh. Ternyata Wiwi. Aku tersenyum dan membalas pujiannya.
Kupikir ialah orang pertama di sekolah ini yang berani melontarkan kalimat
tersebut kepadaku. Dengan pertemuan yang sangat singkat itu, akan lebih banyak
harapan agar hari ini akan menjadi secerah langit. Aku mencoba tidak menghindar
dari kalimat tersebut dan menyimpannya dalam-dalam. Aku ini memang pantas
menjadi cantik. Setidaknya, dengan senyuman akan mengubah hariku menjadi lebih
menyenangkan. Melihat teman-temanku dengan penampilan yang berbeda, membuatku
tersenyum lebih lebar. Mereka semua cantik. Termasuk aku. Hari yang
menyenangkan menjadi akhir momenku di sekolah ini. Terimakasih semuanya!
Kumohon jangan takut dengan sosok paling kanan, karena saat itu ia sedang mengekspresikan kebahagiannya. Maaf ya, hehe. |
Melihat ini aku senang. Bahwa ternyata Tuhan memberikan kebahagiaan yang dengan bodohnya tidak kuingat baik-baik. Aku berada di paling kiri. |
Oh ya, selain English Club, aku juga mengikuti kegiatan ekstrakulikuler Rohis, lho. Lihat orang-orang baik di sini yang masih memandangku sebagai manusia. Aku lagi-lagi berada di paling kiri. |